Model pariwisata massal tradisional, yang seringkali mengutamakan volume pengunjung di atas keberlanjutan lingkungan dan sosial, kini menghadapi kritik tajam. Sebagai respons, industri global mulai beralih ke paradigma baru yang lebih proaktif dan restoratif: Pariwisata Regeneratif. Konsep ini melampaui pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yang hanya bertujuan meminimalkan dampak negatif, melainkan berupaya meninggalkan suatu destinasi dalam kondisi yang lebih baik daripada saat wisatawan tiba. Penerapan Pariwisata Regeneratif menuntut perubahan fundamental pada rantai nilai pariwisata, mulai dari perencanaan destinasi, desain pengalaman perjalanan, hingga keterlibatan aktif masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan utama.
Di Indonesia, potensi Pariwisata Regeneratif sangat besar, terutama di kawasan yang kaya akan warisan budaya dan keanekaragaman hayati seperti Bali dan Nusa Tenggara Timur. Penerapan di lapangan meliputi investasi pada proyek restorasi terumbu karang, reboisasi hutan bakau, dan revitalisasi kearifan lokal. Sebagai contoh konkret, di Desa Wisata Wae Rebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2025, Dinas Pariwisata setempat bersama komunitas adat mengimplementasikan sistem pembatasan kuota pengunjung harian. Kebijakan ini bertujuan menjaga keaslian budaya dan mengurangi jejak ekologis yang ditimbulkan oleh pariwisata berlebihan. Pendapatan yang dihasilkan dari pariwisata kemudian dialokasikan kembali secara langsung untuk pemeliharaan rumah adat Mbaru Niang dan dukungan pendidikan bagi anak-anak desa.
Implementasi Pariwisata Regeneratif juga sangat bergantung pada kebijakan pemerintah yang mendukung. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada tanggal 20 Mei 2025 meluncurkan panduan investasi baru yang memberikan insentif pajak bagi operator tur dan hotel yang berkomitmen pada praktik regeneratif. Insentif ini mencakup keringanan pajak untuk pembangunan fasilitas pengolahan limbah mandiri dan penggunaan energi terbarukan. Hal ini merupakan langkah maju yang menunjukkan pengakuan negara terhadap pentingnya Pariwisata yang Bertanggung Jawab. Diperkirakan, langkah-langkah ini akan mendorong 40% hotel bintang empat dan lima di kawasan super-prioritas pariwisata untuk mengadopsi standar regeneratif dalam dua tahun ke depan.
Selain aspek lingkungan, fokus regeneratif juga mencakup penguatan ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Berbeda dengan pariwisata massal di mana keuntungan seringkali bocor keluar (leakage) ke perusahaan multinasional, Pariwisata Regeneratif memastikan bahwa sebagian besar pengeluaran wisatawan berputar di dalam komunitas. Hal ini dicapai melalui penggunaan pemandu lokal bersertifikat, pembelian bahan pangan dari petani lokal, dan partisipasi dalam program budaya yang otentik. Dengan menggeser fokus dari volume ke nilai dan kualitas pengalaman, Pariwisata Regeneratif menawarkan model bisnis yang lebih etis, berkelanjutan, dan memberikan manfaat jangka panjang bagi destinasi dan penduduknya.